Peradilan Tata Usaha Negara
Wednesday, November 24, 2010 | Author: B.O.S

MAKALAH HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

TENTANG

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

BAB 1 PENDAHLUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Jika ditinjau dari sudut sejarah ide terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintah yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administari) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power).

Apabila dikritisi secara mendalam sebelum diundangaknnya UU No. 9 Tahun 2004, putusan PTUN sering tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutor dan tidak ada sanksi hukumnya serta dukungan yang menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri urusaan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur (atasan tidak berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya) lebih dikenal dengan sebutan asas kebebasan Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun dalam UU No.9 Tahun 2004 ternyata masih saja memunculkan pesmisme dan apatisme publik karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas putusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No.9 Tahun 2004 pasal 116 (4) yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi berupa upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan sanksi administratif, Hal ini tentu saja lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara.

Oleh karna itu, berdasarkan cuplikan mengenai permasalahan yang terdapat dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Penulis melakukan suatu peninjauan demi mengetahui apa yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara, pihak-pihak mana sajakah yang dapat mengajukan gugatan atas akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, Unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara,dan efektivitas putusan PTUN dalam menangani sengketa administasi.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui efektivitas putusan PTUN dalam menangani sengketa administrasi, penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara, dan melampirkan contoh masalah mengenai sengketa administrasi untuk penelitian hukum bersama.

1.3 Pembatasan Masalah

Khusus dalam penulisan makalah ini penulis akan membahas tentang efektivitas putusan PTUN dalam sengketa administrasi dan melampirakn beberapa contoh kasus sengketa administrasi, demi kepentingan penelitian hukum bersama.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan dalam karya tulis ini menggunakan metode Ekploratif yaitu bertujuan untuk mengungkap secara luas dan mendalam tentang sebab-sebab dan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu. Dalam hal ini efektivitas putusan PTUN, dan metode normative yang mana bahan dan sumber penulisan berasal dari refrensi-refrensi yang berupa buku panduan dan surfing internet.

BAB II PEMBAHASAN

Dalam konteks pelembagaan demokrasi serta berwibawanya Negara Hukum (rechtstaat) yang terkait dengan partisipasi pemerintah di ranah publik, maka kehadiran hukum administrasi menjadi penting. Hukum administrasi Negara yang prosesnya berperkaranya di Pengadilan Tata Usaha Negara memberikan ruang publik (Public Sphare) bagi terciptanya iklim demokrasi. Pengadilan Tata Usaha Negara secara jelas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 dan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini memungkinkan masyarakat dapat lebih berpartisipasi dan turut mengontrol kebijaksanaan para pejabat pemerintah. Di samping itu, efektifitas pelaksanaan hukum administrasi juga berpengaruh pada penerapan tata pemerintahan yang baik.

Pengertian Peradilan Administrasi Negara dapat dibedakan[1] :

Dalam arti luas : Peradilan Administrasi negara adalah peradilan yang menyangkut pejabat-pejabat dan instasi-instasi administrasi negara, baik yang bersifat “perkara-perkara pidana atau perdata” dan “perkara adminstrasi negara murni”.

Dalam arti sempit : Peradilan Administrasi Negara adalah peradilan yang menyelesaikan “perkara-perkara administrasi negara murni” semata-mata.

Perkara administrasi negara murni adalah suatu perkara yang tidak mengandung pelanggaran hukum (pidana atau perdata), melainkan suatu sengketa yang berpangkal pada atau mengenal interpretasi dari pada suatu pasal atau ketentuan UU.

Dalam era demokrasi pemerintah dapat campur tangan dalam meyelenggarakan kepentingan umum, sehingga ada kalanya hak individu warga negara dilanggar. Dengan demikian pemerintah yang mempunyai kedudukan yang lebih kuat terhadap rakyat yang diaturnya, hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak-hak rakyat. Hal tersebut menimbulkan sengketa dan sengketa ini diselesaikan sebaik-baiknya melalui aturan main yang telah diatur dalam Peradilan Tata Usaha Negara[2].

Pertannyaan yang kemudian sering muncul adalah bagaimana cara penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara (STUN). Oleh karana itu akan dibahas satu-persatu dalam karya tulis ini.

A. Penyelesaian Sengketa Administrasi Negara

Sengketa Tata Usaha Negara (STUN) diatur dalam Pasal 1 butir (4) UU No. 5/1986, yang berbunyi STUN adalah, sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku[3].

A.1 Pangkal Sengketa

Pangkal sengketa Tata Usaha Negara dapat diketahui dengan apa yang menjadi tolak ukur sengketa Tata Usaha Negara. Tolak ukur sengketa Tata Usaha Negara adalah tolak ukur subjek dan pangkal sengketa, tolak ukur subjek adalah para pihak yang bersengketa dalam hukum administrasi negara. Tolak ukur pangkal sengketa adalah pangkal sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai hasil perbuatan administrasi negara.

A.2 Sengketa administrasi dibedakan menjadi 2 yaitu:

Sengketa Intern, adalah menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu department (instasi), atau kewenangan suatu deparment (instasi), terhadap deparment lainnya yang disebabkan tumpang tindih kewenangan, sehinnga menimbulkan kekaburan kewenangan.

Sengketa ekstern atau sengketa administrasi dengan rakyat adalah perkara adminstrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi negara dengan rakyat sebagai subyek-subyek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya adalah satu pihak harus administrasi negara, yang mencakup administrasi negara di tingakat pusat, maupun administrasi negara pusat yang ada didaerah.

A.3 Unsur-Unsur KTUN (Keputusan Tata Usahan Negara) yaitu:

1. Suatu penetapan tertulis, penetapan ini semata-mata untuk kemudahan dari segi pembuktian, terutama menunjuk kepada isi bukan bentuk

2. Badan atau pejabat TUN, badan atau pejabat TUN di pusat dan di daerah yang melakukan kegiatan bersifat eksekutif.

3. Tindakan hukum TUN, perbuatan hukum badan atau pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum TUN yang menimbulkan hak atau kewajiban kepada orang lain.

4. Bersifat konkret, objek yang diputuskan KTUN tidak abstrak tetapi berwujud tertentu atau dapat ditentukan .

5. Bersifat individual, KTUN tidak diajukan pada umum tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju, jika alamat yang dituju lebih dari satu orang, tiap-tiap nama yang dikena putusan disebutkan. Missal: keputusan pelebaran jalan.

6. Bersifat final, KTUN yang dikeluarkan itu bersifat definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. KTUN yang masih memerlukan persetujuan belum bersifat final. Missal: pengangkatan sorang PNS perlu persetujuan dari BAKN.

B. Kedudukan Para Pihak dalam Sengketa TUN

Dalam pasal 1 angka 4 UU PTUN diketahui bahwa kedudukan para pihak dalam sengketa TUN adalah orang (individu) atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugaut. Orang (individu) atau badan hukum yang dirugikan akibat dikeluarkannya KTUN. Digolongkan menjadi tiga:

1. Orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh KTUN.

2. Orang (individu) atau badan hukum perdata yang dapat disebut pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dan organisasi kemasyarakatan.

3. Badan atau pejabat TUN yang tidak boleh menggugat oleh UU PTUN. Kepentingan ini dalam kaitannya yang berhak menggugat apabila bersifat langsung, pribadi, objek dapat ditentukan dan atau kepentigan berhubungan dengan KTUN.

C. Para Pihak dalam Sengketa TUN

Dalam PTUN pihak penggugat terdiri dari orang atau badan hukum perdata, sedangkan pihak tergugat adalah badan atau pejabat TUN[4]. Kedua pihak tersebut mempunyai posisi yang permanen, artinya penggugat selalu orang atau badan hukum perdata dan tergugat selalu pihak pemerintah, tidak pernah sebaliknya. Oleh karna itu PTUN tidak pernah ada gugatan rekonpensi. .

D. Jalur Penyelesaian Sengketa TUN

Dalam pasal 48 UU PTUN Nomor 5 tahun 1986, menjelaskan upaya administrative, itu merupakan prosedur yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa dalam TUN yang dilaksanakan di lingkungan pemerintah sendiri yang tediri dari prosedur keberatan dan prosedur banding administrative. Perbedaan penting antara upaya administrative dan PTUN adalah bahwa PTUN hanyalah memeriksa menilai dari segi hukumya saja. Sedangkan penilaian dari segi kebijaksanaan bukan wewenang PTUN. Pemeriksaan melalui upaya administratif, badan TUN selain berwenang menilai segi hukumnya, juga berwenang menilai segi kebijaksanaannya. Dengan demikian penyelesaian sengketa melalaui uapaya admnistratif menjadi lebih lengkap, tetapi penilaian secara lengkap tersebut tidak termasuk pada prosedur banding. Pada prosedur banding, badan hukum TUN hanya melakukan penilaian dari segi hukumya saja.

E. Contoh Kasus Sengketa Administrasi Negara Dan Penyelesaian.

E.1 Sengketa antara Lindawati –vs- Bupati Kepala Daerah Tk. II Gianyar, Propinsi Bali.

Ilustrasi Kasus:

Lindawati (penggugat) pemilik sebidang tanah (600M2) di Subak Basangampu, menggugat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gianyar (tergugat), karena bupati tersebut mengeluarkan surat perintah bongkar atas bangunan (restoran) milik Lindawati yang baru selesai dibagun, dengan alasan yang pada intinya tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Penggugat berkeinginan untuk mendirikan sebuah restoran sebagai tempat usaha, dan untuk itu telah mengajukan permohonan izin prinsip kepada Gubernur, sekitar tahun 1990. Dasar penggugat untuk mengajukan permohonan tersebut, adalah karena semua surat-surat kepemilikan atas tanah tersebut lengkap ada, termasuk sertifikat hak milik nomor 580 atas namanya sendiri. Dan lagi, izin prinsip yang sama, telah pernah diberikan sekitar tahun 1973, akan tetapi karena pemilik beralih, tidak pernah digunakan hingga kadaluarsa.

Oleh karena jawaban Gubernur belum ada, maka sambil menuggu, penggugat memberanikan diri membangun restoran tersebut secara fisik hingga selesai. Namun, 4 (empat) bulan setelah permohonan diajukan keluarlah penolakan izin prinsip tersebut, dengan berbagai alasan-alasan yang tidak masuk diakal. Atas dasar penolakan itu, Bupati Kepala Daerah Tk. II Gianyar (tergugat), mengeluarkan Surat Perintah Bongkar (SPB) dengan alasan yang pada intinya adalah bahwa bangunan tersebut didirikan tanpa IMB. Penggugat tidak menerima hal itu, lalu mengajukan gugatan ke PTUN.

Jalanya Proses Persidangan:

Pada Tingkat Pertama :

PTUN Ujung Pandang dalam putusannya, menolak gugatan penggugat tersebut dengan pertimbangan-pertimbangan yang pada pokoknya berdasarkan peraturan-perundang-undangan yang ada, KTUN dari tergugat tersebut adalah sah menurut hukum.

Pada Tingakat Banding :

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Ujung Pandang dalam perkara banding, pada intinya memperkuat putusan tingkat pertama tersebut meskipun dengan pertimbangan-pertimbangan yang agak berbeda, yaitu : bahwa PTTUN menggunakan AAUPB, akan tetapi dalam konteks kepentingan tergugat.

Pada Tingkat Kasasi :

Mahkamah Agung RI dalam pemeriksaan tingkat kasasi, ternyata memutus sebaliknya, yaitu membatalkan kedua keputusan judex facti tersebut, dan menyatakan keputusan pembongkaran bangunan restoran oleh tergugat adalah batal karena bertentangan dengan AAUPB, khususnya “asas persamaan”.

Penjelasan Pengambilan Putusan Masing-Masing Pengadilan :

Kaidah hukum, yang merupakan temuan hukum dalam perkara ini adalah: dalam pelaksanaan penertiban perihal yang sama, atau keadaan yang sama (kasus yang sama), pejabat TUN harus melaksanakan AAUPB, yaitu asaa persamaan dalam kasus yang sama.

PTUN Ujung Pandang tenyata hannya mellihat kewenangan Bupati Gianyar tersebut dari segi perundang-undangan saja, tanpa memptimbangakan bagaimana seharusnya melaksanakan itu di lapangan. Ketentuan perundang-undangan tersebut harus dilaksanakan secara fair, dengan tidak membeda-bedakan antara orang yang Satu dengan yang lainnya. PTUN harusnya, juga melihat apakah ketentuan-ketentuan tersebut dilaksanakan terhadap bangunan-bangunan lain disekitar itu, yang juga tidak memiliki IMB, atau yang memiliki kondisi-kondisi yang sama dengan bangunan penggugat.

PTTUN Ujung Pandang dalam tingkat banding, sudah menyingung asas persamaan sebagai bagian dari AAUPB yang harus diperhatikan oleh tergugat dalam mengambil keputusannya, sayangnya, kehati-hatian yang dimaksud oleh peradilan banding tersebut dalam hal ini, dalah bahwa agar dengan adanya keputusan pembongkaran tersebut, idupayakan agar kerugian yang diderita oleh si terbongkar (penggugat), ditekan sekecil meungkin sehingga tidak terlalu menimbulkan kerigian. Dengan demikian PTTUN berpendapat bahwa, keputusan pembongkaran itu adalah sah menurut hukum.

Berbeda dengan kedua keputusan judex facti di atas, Mahkamah Agung RI dalam pemeriksaan tingakat kasasi berpendapat lain, menurut MA, dalam pelaksanaan penertiban perihal yang sama atau keadaan yang sama pejabat TUN harus melaksanakan AAUPB, yaitu asas persamaan, dalam kasus yang sama, haruslah diperlakukan yang sama. Telah terbukti bahwa di sekitar itu banyak bangunan-banguanan yang tidak memiliki IMB, dengan kondisi yang sama, mengapa hannya bangunan penggugat yang dibongkar? Putusan MA tersebut, telah menjadi Yurisprudensi tetap, yang seyogyanya harus diikuti oleh hakim-hakim lain dalam memutus perkara yang sama.

F. ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK (AAUPB)

F.1 Pertimbangan

Dalam bahasa belanda disebut dengan Algemene beginselen van behoorlijk bestuur atau the general principles of good administration, dalam literatur Indonesia diterjemahkan dengan istilah “Asas-asas umum pemerintahan yang baik”. Maksud dirumuskannya asaa tesebut adalah meningakatkan perlindungan hukum bagi administrable dari kemungkinan tindakan penguasa yang dapat menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat.

Ketika asas tersebut mulai dirumuskan banyak keberatan yang dilontarkan khususnya dari kalangan pejabat dan para pegawai administrasi negara di Nederland. Keberatan itu dilandasi atas kekhawatiran bahwa kealk para Hakim administrasi negara akan mempergunakan rumusan-rumusan itu sebagai ukuran untuk menilai kebijakan-kebijakan yang diambil oleh penguasa. Namun kebertan demikian sekarang sudah mulai lenyap ditelan masa karena telah kehilangan relevansinya untuk diajdikan sebagai alasan.

F.2 Kedudukan dalam Tata Hukum Indonesia;

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, AAUPB itu belum pernah dituangkan secara resmi sehingga kekuataan hukumnya secara yuridis formal belum ada. Tetapi di Indonesia sendiri beberapa dari asas-asas itu sesungguhnya juga terdapat dalam berbagai perundang-undangan. Misalnya mengenai asas kesamaan dalam mengambil keputusan sebagai implementasi dari prinsip keadilan berdasarkan persamaan hak dan kewajiban warga negara di hadapan hukum (equality before the law) dan pemerintahannya, sebagaimana termuat dalam Pasal 27 UUD 1945.

F.3 Beberapa Asas;

Perincian dari pada AAUPB, terdiri dari tiga belas asas. Tetapi penerapan asas itu bagi Indonesia perlu memperhatikan nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam Pancasila. Mengenai asas tersebut akan dijelaskan satu-persatu;

1. Asas Kepastian Hukum

Asas ini mengkehendaki adanya stabilitas hukum, dengan maksud bahwa suatu keputusan yang telah yang dikeluarkan oleh Badan Tata Usaha Negara harus mengandung kepastian dan tidak akan dicabut kembali, bahkan sekalipun keputuan yang telah dibuat mengandung kelemahan.

2. Asas Keseimbangan

Segala kelalaian ataupun kesalahan yang dilakukan oleh seorang pegawai harus diberikan tindakan atau hukuman secara proporsional atau sebanding oleh atasan.

3. Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan

Asas ini mengharuskan bahwa terhadap kasus-kasus yang faktanya sama, diharapkan diambil tindakan yang sama pula. Badan Tata Usaha Negara haruslah berpegang teguh pada asas kesamaan ini karena asas kesamaan telah mendapat tempat dalam pasal 27 UUD 1945.

4. Asas Bertindak Cermat

Asas ini mengkehendaki agar pemerintah bertindak cermat, bahkan mengharuskannya berhati-hati , sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga massyarakat. Kerugian itu timbul bukan saja dari akibat tindakan pemerintah atau bisa juga timbul karena akibat tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dilakuakan.

5. Asas Motivasi

Setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Badan-badan pemerintahan harus mempunyai alasan, dan alasan itu harus jelas, benar, serta adil. Tujuan diperlukannya motivasi dalam setiap keputusan adalah untuk mengetahui alasan-alasan yang dijadikan bahan pertimbangan dikeluarkannya keputusan. Terutama bagi mereka yang terkena dan merasa tidak puas terhadap keputusan itu.

6. Asas Tidak Mencampur-adukan Kewenagan

Suatu kewenangan yang diberikan haruslah dipergunakan sesuai dengan maksud dan tujuan semula diberikannya kewenangan itu. Penyalahgunaan wewenang dapat berakibat adanya pembatalan terhadap suatu Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

7. Asas Permainan yang layak/Perlakuan yang Jujur

Tujuan asas ini adalah menyatakan bahwa badan-badan pemerintah hendaknya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara untuk mencari kebenaran dan keadilan. Bermaksud juga untuk memberikan respone atas suatu keterangan atau penjelasan yang tidak benar atau kurang jelas yang diberikan oleh Badan Tata Usaha Negara.

8. Asas Keadilan atau Kewajaran

Asas ini bertujuan untuk agar badan-badan pemerintah tidak bertindak sewenag-wenang atau tidak wajar. Jika ternyata aparat pemerintah bertndak sewenang-wenang atau tidak wajar, maka tindakan demikian dibatalkan.

9. Asas Menaggapi Pengharapan yang Wajar

Asas ini mengkehendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus menimbulkan harapn-harapan pada penduduk. Namun jika terdapat kekeliruan eh dalam tindakan itu , maka kerugian yang timbul sebagai akibat dari kekeliruan atau kelalaian itu harus ditanggung oleh alat pemerintahan secara konsekwen dan tidak boleh dibebankan kepada warga massyarakat.

10. Asas Meniadakan Akibat suatu Keputuasan yang Batal

Pada prinsipnya setip orang (pegawai) yang dipecat dari perkerajaannya karena diduga telah melakukan suatu kejahatan, tetapi setelah melalui proses pemeriksaan pengadilan, orang tersebut ternyata tidak terbukti melakukan kejahatan sebagaimana diduga semula, maka instasi tempat ia berkerja harus menerima kembali orang yang telah dipecat itu. Orang itu harus direhabililitasi kembali nama baiknya.

11. Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup/Cara Hidup

Bermaksud agar Pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi seorang pegawai negri. Untuk penerapan asas ini di Indonesia diperlukan persesuaian dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.

12. Asas Kebijaksanaan

Asas ini mengkehendaki agar dalam melaksanakan tugasnya pemerintah diberi kebebasan unutk melakukan kebijaksanaan tanpa harus selalu menunggu instruksi. Berkaitan dengan perlunya tindakan positif pemerintah mengenai penyelengaraan kepentingan umum.

13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum

Asas ini mengkehendaki agar dalam menyelenggarakan tugasnya pemerintah selalu mengutamakan kepentingan umum. Karena Negara Indonesia adalah negara yang hukum yang dinamis (walfare state) yang menuntut segenap kegiatan-kegiatan yang dilakukan aparat menuju pada penyelenggaraan kepentiangan umum.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan:

Berdasarkan penggalan pembahasan diatas maka dapat disimpulakan bahwa; Hakim seharusnya meninjau azas AAUPB terlebih dahulu sebelum memutus suatu perkara, hakim tidak boleh memutus suatu pekata Tata Usaha Negara hannya dengan melihat kewenangan yang dimiliki oleh Badan atau Pejabat TUN semata, karena hal ini hannya akan mengakibatkan suatu ketimpangan keadilan yang menggambarkan bahwa Badan atau Pejabat TUN cenderung untuk menyalahgunakan kewenagannya, dengan cara membuat keputusan TUN tanpa mempertimbangkan kondisi actual yang terjadi di dalam masyarakat.




[1] WIRATNO, PENGANTAR HUKUM ADMINISTRASI NEGARA, Jakarta: Universitas Trisakti, 2009 h. 201.

[2]Ibid, h 203.

[3] LINTONG O. SIAHAAN, PROSPEK PTUN SEBAGAI PRANATA PENYELESAIAN SENGKETA ADMINISTRASI DI INDONESIA, cet 1, Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2005 h.155.

[4] Ibid, h 154.

Afiirmative Action
Monday, November 08, 2010 | Author: B.O.S

Dasawarsa terakhir ini, percaturan politik Indonesia diramaikan perempuan politikus. Konsekuensinya, persaingan partai dan individu yang terjadi di pentas arena demokrasi makin keras, sema­rak, ramai, dan sensasional dengan harapan stigma politik hanya milik kaum laki-laki lambat laun akan sirna dan terkikis.

kata affirmative action sebenarnya mempunyai arti kebijakan yang dikenakan kepada kelompok tertentu berupa pemberian keistimewaan atau perlakuan khusus dalam kasus tertentu. misalnya, mengetahui sebagian besar suku Anak Dalam di Jambi masih terbelakang, Pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang memberikan keistimewaan kepada suku Anak Dalam untuk masuk sekolah. Kebijakan semacam ini tak bisa diartikan sebagai tindakan diskriminatif, melainkan affirmative action.

Program affirmative action merupakan sebuah cara yang banyak direkomendasikan untuk mencapai kesetaraan kaum perempuan. Ketidaksetaraan perempuan terjadi di semua bidang akibat struktrur patriarki di level publik dan privat. Dari sudut sejarah, istilah affirmative action diaplikasikan di level publik di mana negara dan institusi publik mengeluarkan kebijakan yang memberikan peluang atau perlakuan khusus kepada perempuan. Termasuk, kebijakan kuota di lembaga-lembaga negara dan publik: parlemen, pemerintahan, institusi pendidikan dan lapangan pekerjaan. Program ini dilakukan di banyak negara seiring dengan gerakan perempuan yang bekerja dirana domestik dan internasional.

Implikasi dari munculnya affirmative action adalah dikeluarkannya kebijakan kouta 30% untuk wanita dalam berkecimpung di dunia politik. hal ini tertuang dalam Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, dan Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik. tetapi sampai sekarang hal tersebut belum dapat di realisasi, nyatanya terdapat empat partai politik yang belum memenuhi kouta 30% tersebut, empat partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Patriot, Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDA), hal itu disebabkan karena karena dalam proses verifikasi banyak caleg perempuan yang dicoret, prosentase caleg perempuan mereka turun sehingga tidak memenuhi kuota 30 persen.

Oleh karena itu, dalam po­litik, perempuan tetap me­miliki ganjalan, kendala, hambatan dan rintangan sosial budaya (cultural social barriers) yang serius, pengaruh sikap primordial, tradisi, struktur lingkung­an sosial, dan tatanan agama yang membelenggu dan tak mudah diatasi. Bagaima­na­pun juga, perempuan harus membuktikan dirinya berkualitas dan layak dipilih sebagai pe­mimpin, tidak sekadar diletak­kan menjadi nomor dua dalam pemerintah­an. Mereka bukan lagi menjadi pelengkap, pembungkus, atau­pun pemanis da­lam pilkada karena berparas cantik dan memiliki popularitas.