Peran Ketertiban Umum dalam Putusan Arbitrase Luar Negri
Friday, January 07, 2011 | Author: B.O.S

BAB I PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang Masalah

Ketertiban umum dikenal dengan berbagai istilah seperti orde public (prancis), public policy (Anglo Saxon), begitu juga pengertian mengenai makna dan isinnya tidak sama diberbagi negara[1].

Ketertiban umum adakalanya diartikan sebagai “ketertiban, Kesejahteraan, dan Keamanan”, atau disamakan dengan ketertiban umum, atau synonym dari istilah “keadilan”. Dapat pula dipergunakan dalam arti kata bahwa hakim wajib untuk mempergunakan pasal-pasal Undang-Undang tertentu.

Persoalan ketertiban umum merupakan persoalan dalam bidang HPI (Hukum Perdata Internasional) yang cukup krusial, oleh karena lembaga ketertiban umum ini mempunyai sangkut paut yang erat dengan paham-paham azasi dan dasar-dasar HPI.

Dalam HPI diperkenalkan sebagai hukum yang memperlakukan unsur-unsur asing, hal ini tidak berarti bahwa selalu dan dalam semua hal dipergunakan hukum asing ini. Apabila hukum asing yang hendak diberlakukan terlalu menusuk sendi-sendi azasi hukum nasional sang hakim maka diberlakukanlah lembaga ketertiban umum ini yaitu hukum nasional sang hakimlah yang akan diberlakukan. Dengan catatan apabila hendak selalu memakai lembaga ketertiban umum, hasilnya adalah bahwa hukum nasional kitalah yang selalu akan dipergunakan. Dalam hal ini maka sama sekali tidak ada kemungkinan untuk perkembangan daripada HPI[2].

Dalam bukunya “Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia” Prof.Dr S.Gautama mengibaratkan lembaga ketertiban umum ini sebagai “rem darurat” yang kita ketemukan pada setiap kereta api. Pemakainya harus secara hati-hati dan seirit mungkin karena apabila kita terlampau lekas menarik rem darurat ini, maka “kereta HPI” tidak dapat berjalan dengan baik.

Lebih lanjut S.Gautama mengatakan bahwa lembaga ketertiban umum ini digunakan jika pemakaian dari hukum asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi-sendi azasi hukum nasional hakim. Maka dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat menyampingkan hukum asing ini[3].

Setiap negara di dunia memiliki ketertiban umumnya sendiri-sendiri, oleh karena itu tidak jarang ditemukan bahwa lembaga ketertiban umum disuatu negara lazim terbentuk karena unsur-unsur politis negara tersebut, contoh mengenai larangan perkawinan yang diadakan oleh pemerintah Nazi Jerman. Seperti yang diketahui pada waktu Nazi Jerman sebelum perang telah diadakan Undang-Undang tahun 1931 yang melarang perkawinan antara bangsa aria dengan orang-orang bukan aria. Adanya larangan menikah berdasarkan ras dianggap oleh banyak negara tidak dapat diperlakukan Karena melanggar ketertiban umum.

Dengan demikian ketertiban umum terbentuk berdasakan waktu dan tempat yang tejadi pada saat itu, permasalahan ketertiban umum merupakan suatu topik yang menarik unutuk dikaji, oleh karna itu penulis berkeinginan unutuk mengetahui seluk-beluk dari ketertiban umum tersebut, dan Dalam penulisan makalah ini penulis mencoba mengakaji ketertiban umum di Indonesia, dan mengapa lembaga ketertiban ini dapat digunakan sebagai alat untuk menolak eksekusi putusan arbitrase.

I.2 Tujuan Penulisan

Dalam kesempatan penulisan ini akan dibahas mengenai ketertiban umum di Indonesia dan seluk-beluknya.

I.3 Metode Penulisan

Khusus dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode ekploratif, yaitu penulis akan mengkaji secara ringkas, luas, dan mendalam mengenai topik permasalahan, dan menggunakan metode Normatif, adalah pengumpulan bahan untuk penulisan di peroleh dari refrensi-refrensi buku hukum, dan diktat yang diberkan oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan. Serta menggunakan kecanggihan ilmu tekhnologi yang berupa surving internet.

I.4 Pembatasan Masalah

Kajian dalam penulisan makalah ini akan dibatasi guna agar penulisan tidak bertumapang tindih dan menghindari kekacauan dalam penulisan oleh karna itu hannya dibahas mengenai kasus sengketa antara Yani Haryanto (Indonesia) vs E.D & F.Man (Inggris), dan kasus Karaha Bodas.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kasus antara Yani Haryanto (Indonesia) vs E.D & F.Man (Inggris)

Ilustrasi Kasus:

Kasus berikut ini cukup heboh dan terkenal disebabkan oleh dua faktor. Pertama, Mahkamah Agung untuk pertama kalinya memberikan eksekutur terhadap putusan arbitrase asing sejak MA mengeluarkan PERMA 1/1990. Kedua, dalam waktu yang tidak terlalu lama penetapan MA tentang pemberian eksekuatur itu kemudian dibatalkan sendiri melalui putusan kasasi. Kasus ini dikenal dengan sebutan “Kasus Gula” karena objek sengketa tersebut memang mengenai jual beli gula.

Selengkapnya rangkaian perjalanan permohonan eksekusi putusan arbitrase London dalam perkara antara E.D. & F.MAN (SUGAR) Ltd., melawan Yani Haryanto, dapat disimak berikut ini.

Pada tahun 1982 pengusaha Indonesia Yani Haryanto bertindak sebagai pembeli mengadakan perjanjian jual beli gula dengan eksportir Inggris E.D. & F, Man Sugar Ltd. Sugar quay London, sebagai penjual. Perjanjian tersebut dituangkan dalam dua bentuk kontrak dagang, yaitu:

1) Contract for White Sugar No. 7458, tanggal 12 Februari 1982.

untuk jual beli gula sebanyak 300.000 metrik ton;

2) Contract for White Sugar No. 7527, tanggal 23 Maret 1982

untuk jual beli gula sebanyak 100.000 metrik ton.

Kedua kontrak tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak pada bulan Februari dan Maret 1982. Dalam kedua kontrak di atas para pihak bersepakat bahwa segala sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian jual beli gula ini, kedua belah pihak sepakat diselesaikan oleh suatu “Dewan Arbitrase Gula” atau yang disebut “The Council of the Refened Sugar Association” yang berkedudukan di London berdasarkan ketentuan dalam The Rules of the Refened – Sugar Association Relating to Arbitration.

Pelaksanaan kontrak ternyata mengalami kegagalan karena Yani Haryanto menolak melaksanakan perjanjian jual beli tersebut dengan alasan bahwa import gula itu merupakan kewenangan BULOG (Badan Urusan Logistik). Sedangkan perorangan tidak dibenarkan melakukan import gula. Larangan itu tertuang di dalam (i) Keputusan Presiden (Keppres) No. 43 Tahun 1971, tanggal 14 Juli 1971 tentang Kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pengadaan beras, gula, dan lain-lain oleh BULOG;

(ii) Keppres No. 39 Tahun 1978.

Ketika perjanjian disepakati kedua belah pihak tidak mengetahui kedua Keppres tersebut dan baru diketahui setelah perjanjian hendak dilaksanakan. Atas dasar hal itu maka Yani Haryanto membatalkan kedua perjanjian jual beli gula yang telah disepakatinya.

Akibat tindakan Yani Haryanto membatalkan perjanjian jual beli yang telah disepakati, maka E.D. & F. Man Sugar Ltd. sebagai pihak eksportir gula di London menuntut ganti kerugian. Sengketa ini di Inggris ditangani oleh The English High Court London. Kemudian The English Court of Appeal London yang memberi putusan bahwa sesuai dengan kontrak yang disepakati, maka yang berwenang menyelesaikan sengketa ini adalah Dewan Arbitrase Gula yang disebut The Council of the Refened.Sugar Association di London.

Walaupun penyelesaian sengketa itu diperintahkan untuk diajukan kepada Dewan Arbitrase Gula tersebut tetapi tidak sempat diajukan. Para pihak lain Yani Haryanto (sebagai Penggugat) mengajukan gugatan perdata kepada E.D. & F. Man Sugar Ltd., London (sebagai Tergugat) melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan pelaksanaan perjanjian jual beli gula dimaksud.

Dalil yang dikemukakan Penggugat di dalam gugatan antara lain: “Karena ada larangan dari pemerintah mengenai import gula oleh perorangan, artinya perjanjian jual beli gula tersebut mengandung causa/sebab yang dilarang oleh peraturan, sehingga menjadi batal demi hukum. ”Setelah melalui rangkaian pemeriksaan dan pembuktian, akhirnya PN Jakarta Pusat dengan Putusan Nomor 499/Pdt/G/VI/1988/PN.JKT.PST. Memutuskan memenangkan Yani Haryanto selaku Penggugat dan membatalkan dengan segala akibat hukumnya Contract for White Sugar No. 7458, tanggal 12 Februari 1982 dan Contract for White Sugar No. 7527, tanggal 23 Maret 1982.

Dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi Jakarta telah menjatuhkan putusan dalam perkara antara E.D. & F. Man Sugar Ltd., London. (Pembanding semula Tergugat) melawan Yani Haryanto (Terbanding semula Penggugat). Melalui putusan No. 486/Pdt/1989/PT.DKI, tanggal 14 Oktober 1989 Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta Pusat tanggal 29 Juni 1989 No. 499/Pdt/G/1988/PN.Jkt.Pst. yang dimohonkan banding tersebut.

Tidak puas terhadap kedua putusan pengadilan rendahan sebelumnya, E.D. & F. Man Sugar Ltd., London (Pembanding semula Tergugat) mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada dasarnya Mahkamah Agung memberikan putusan No. 1205 K/Pdt/1990, tanggal 4 Desember 1991 yang intinya menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh E.D. & F. Man Sugar Ltd., London. Penolakan MA terhadap kasasi di atas barangkali tidak terlalu istimewa. Yang menarik untuk dicermati adalah lima pertimbangan putusan tersebut yang diakui sendiri oleh MA “pertimbangan dalam perkara ini walaupun berlebihan,” antara lain sebagai berikut:

Mahkamah Agung mengaitkan masalah ini dengan Penetapan Mahkamah Agung RI No. 1/Pen/Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991, tanggal 1 Maret 1991, yang meskipun dalam perkara ini tidak disinggung, akan tetapi hal tersebut bertalian erat dengan perkara tersebut;

Bahwa Penetapan tersebut di atas mengenai mengabulkan permohonan exequatur terhadap putusan The Queen’s Council of the English Bar di London, 17 November 1989;

Bahwa suatu Penetapan exequatur hanya bersifat prima facie, jadi penetapan tersebut tidak merupakan penilaian hukum terhadap isi dari perjanjian yang dibuat;

Bahwa suatu Penetapan exequatur ini hanya memberikan title eksekutorial bagi Putusan Arbitrase Asing tersebut, yang pelaksanaannya tunduk kepada Hukum Acara di Indonesia;

Bahwa karena itu, dengan adanya Putusan Mahkamah Agung dalam perkara ini, maka Penetapan Mahkamah Agung RI No. 1/Pen/Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991 tanggal 1 Maret 1991, menjadi irrelevant untuk dilaksanakan.

Lima pertimbangan putusan Mahkamah Agung tersebut di atas telah menimbulkan berbagai komentar yang kontroversial pada berbagai kalangan di masyarakat. Kontroversi terjadi terutama disebabkan oleh Penetapan Mahkamah Agung RI No. 1/Pen/Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991, tanggal 1 Maret 1991, yang mengabulkan permohonan exequatur terhadap putusan The Queen’s Council of the English Bar di London, 17 November 1989. Pada awalnya penetapan itu disambut gembira oleh sejumlah kalangan sebagai “sebuah keputusan berani di bidang hukum perdata yang telah diambil oleh Mahkamah Agung.”534 Komentar yang bernada optimis berdatangan ditujukan kepada Mahkamah Agung (MA).

Oleh karena dalam catatan sejarah hukum perdata Indonesia, penetapan exequatur dari MA untuk putusan arbitrase asing terhitung yang pertama kalinya. Setidaknya sejak MA membuat peraturan tata-cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, PERMA 1/1990, tanggal 1 Maret 1990. Menyusul Penetapan Mahkamah Agung RI No. 1/Pen/Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991, tanggal 1 Maret 1991 yang mengabulkan permohonan exequatur, Wakil Ketua MA Purwoto S. Gandasubrata535 mengemukakan pendapat bahwa, “Pelaksanaan putusan arbitrase tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dalam hal ini tata hukum dan kepentingan nasional Indonesia.” Bagaimana pun hasilnya nanti, putusan tersebut setidaknya menaikkan citra peradilan Indonesia di mata internasional. Penetapan itu juga sekaligus menunjukkan keseriusan Indonesia sebagai anggota Konvensi New York 1958. Akan tetapi ternyata tonggak baru MA sekaligus gengsi baru pengadilan Indonesia itu tidak berumur lama. Putusan kasasi dalam kasus E.D. & F. Man Sugar Ltd., London melawan Yani Haryanto di atas telah memupuskan harapan pihak asing untuk dapat memperoleh hak-hak yang telah diperjuangkan berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan berkontrak.

Oleh sebab itu tak pelak lagi putusan di atas mengundang komentar beragam dan umumnya bernada mengkritik. Seperti yang diutarakan Wakil Ketua BANI, HJR Abubakar juga mengaku tidak habis pikir atas putusan kasasi itu. Beliau mengatakan, “kalau sudah dikeluarkan penetapan, berarti MA sudah menilai keputusan arbitrase asing itu bisa dilaksanakan karena tak bertentangan dengan tata hukum Indonesia.” Berbeda dengan komentar yang lain, Sudargo Gautama justru berpendapat sebaliknya. Menurut Gautama “keputusan itu sudah tepat, sebab kedua kontrak itu memang sudah dibatalkan oleh pengadilan di sini. Lagi pula proses persidangan arbitrase di London tidak memenuhi persyaratan Konvensi New York 1958. Pihak Haryanto tidak pernah diberi kesempatan untuk membela diri. Jadi, memang tidak ada yang dapat dieksekusi.”

Sebagai Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu, Ali Said berpendapat bahwa “penetapan exequatur itu menurut kuasa hukum Man mestinya tak bisa dibanding apalagi kasasi – tidak berbeda dengan keputusan sela saja. Oleh karena itu, adanya keputusan kasasi dengan sendirinya penetapan exequatur sebelumnya tidak dapat dilaksanakan. ”Kontroversi mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing itu bagaimana pun telah mencitrakan betapa pilihan forum penyelesaian sengketa melalui arbitrase belum berpihak pada penegakan keadilan. Apabila demikian faktanya, benar apa yang dikatakan Rene David bahwa: It may happen hoewever that the loser does not accept the award which has been rendered. He may contest the validity of the award,... It is then necessary to go to a court; the losing party may go to court to have the award set aside or reformed.

Padahal bagi pihak-pihak yang bersengketa tidak terkecuali pihak asing, dapat dilaksanakannya putusan yang telah diperoleh, sama dengan memperoleh jaminan kepastian hukum atas hak-hak yang dituntut. Ini merupakan masalah esensial, oleh karena bagi siapa pun, memakai metode penyelesaian sengketa apa pun, dan dimana pun sengketa itu diputus, tidak ada artinya sama sekali apabila tidak ada ada jaminan kepastian hukum untuk merealisasikan hak-hak yang diperoleh. Bukan kemenangan semu di atas kertas yang dicari pihak-pihak yang bersengketa, melainkan diperoleh kembali hak yang mereka perjuangkan.

2.2 Kasus antara Pertamina dan Karaha Bodas Company

Kerja sama pada abad mellenium ini sangat penting, dan telah menjadi kebutuhan setiap Negara jika Negara tersebut ingin maju, salah satunya Indonesia, jika Negara ingin menuju pada Negara yang maju maka Indonesia harus berani untuk melakukan kerjasama untuk Negara.

Pada tahun 1994, pertamina mengadakan kontrak kerjasama dengan pihak investor lisrik swasta yaitu karaha bodas Co. LLC dibawah kontrak joint operation contrak (JOC) sedangkan PLN sebagai pembeli nantinya dibawah kontrak Energy sales contrak (ESC) dengan karaha bodas company.

Pertamina dan karaha bodas Co. LLC mengadakan pengembangan energy panasbumi di karaha bodas-garut dan telaga bodas-tasikmalaya, dimaksudkan nantinya dapat menghasilkan energy yang ramah lingkungan dan bersih.

2.2.1. Kesepakatan Kerjasama antara Pertamina dan Karaha Bodas Company

Pada saat ini, perusahaan swasta yang beroprasi di kebanyakan lapangan gheothermal dibawah kontrak operasi gabungan dengan pertamina yang mengalokasikan 4% dari pendapatan operasional bersih ke pertamina dan tambahan 34% dari pendapatan operasi Netto ke pemerintah. Berdasarkan keppres No 45 / 1991 menggariskan dua jalur alternative untuk pengembangan energy geothermal diindonesia.

Pertama pertamina atau kontraktor operasi gabungannya mengembangkan dan mengoperasikan lapangan uap saja, penjualan uap ke PLN atau ke phak lain untuk membangkitkan listrik

Kedua memungkinkan pertamina atau kontraktornya membangkitkan listrik sebagaimana mereka mengembangkan dan mengoperasikan lapangan uap, listrik yang dihasilkan di jual ke PLN atau ke konsumen lain. Dari penetapan ini lahir dua perjanjian yaitu :

Kontrak operasi gabungan (JOC)

Suatu JOC adalah perjanjian legal antara kontraktor dan pertamina yang mewakili pemerintah. Pertamina bertanggung jawab untuk menajemen operasi dan kontraktor bertanggung jawab untuk peroduksi energy geothermal dari daerah kontrak, konvensi energy menjadi listrik atau mengirimkan geothermal atau listrik. JOC memungkinkan operasi untuk 42 tahun, termaksud peroduksi selama 30 tahun, kontrak kepemilikan-operasi selama 30 tahun. Dan listrik dijual pada tingkat kontrak penjualan energy, yang normalnya dengan denominal dalam dolar dan menjadi kewajiban PLN untuk membeli listrik pada dasar ambil atau bayar dalam jangka waktu 30 tahun

Kontrak penjualan energy (ESC)

Satu ESC atau bagian integral dari JOC, adalah perjanjian antara kontraktor dan supplier dari uap geothermal, pertamina sebagai penjual, dan PLN sebagai pembeli energy geothermal. Dibawah kesepakatan ini, preode produksi untuk mengirimkan energy geothermal dari masing-masing unit, jangka waktu ESC adalah 43 tahun.

2.2.2. Timbulnya kasus pertamina dan karaha bodas company

Kasus cukup menarik yang menyita perhatian masrakat internasional yaitu kasus antara Pertamina Vs KBC, yang mana secara dasarnya gesekan kepentingan nyaris berbeda antara keduanya, terlebih perusahaan karaha bodas merupakan perusahaan perseroan yang didirikan berdasarkan aliran-aliran modal baik dari dalam maupun dari luar, dimana tujuan perusahaan ini lebih mengutamakan profit oriented dan sisi lain perusahaan nasional atau pertamina lebih mengutamakan kepentingan nasional, ini bagaikan api dalam sekam, setiba saat bisa terbakar yang merugikan kedua belah pihak.

Proyek PLTP ini didukung dengan peraturan pemerintah No 24 Tahun 1994 yang membolehkan investor asing melakukan investasi ditanah air dengan komposisi saham 90%. Dengan adanya kehadiran investasi ke Indonesia otomatis harus tunduk pada semua sistem hukum politik Negara tuan rumah, artinya perusahaan harus mematuhi aturan investasi di Indonesia. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi perusahaan trannasional seperti karaha bodas company yang mempunyai saham yang lebih besar atau utuh 100%, sehingga pengambilan kebijakan dipengaruhi oleh pemegang saham terbesar, ini menimbulkan kepentingan Negara tuan rumah menjadi nomor dua.

Sayangnya sampai saat ini aturan hukum internasional yang berlaku umum untuk mengatur aktivitas perusahaan transnasional belum dibuat, hal ini sudah pasti akan berpotensi muncul konflik antara kedua subjek hukum ini, yaitu anata pertamina dan karaha bodas company.

2.2.3. Latar belakang terjadinya kasus pertamina dan karaha bodas company

karena krisis ekonomi dan atas rekomendasi Internasional Monetery Fund (IMF), pada tanggal 20 September 1997, Presiden melalui Keppres No. 39/ 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, BUMN Swasta yang berkaitan dengan Pemerintah/BUMN. Kepres tersebut menangguhkan pelaksanaan proyek PLTP Karaha sampai keadaan ekonomi pulih. Selanjutnya, pada 1 November 1997, melalui Kepres No. 47/1997 proyek diteruskan. Namun, berdasarkan Keppres No. 5/ 1998 pada tanggal 10 Januari 1998 proyek kembali ditangguhkan.

Pada tanggal 22 Maret 2002 pemerintah melalui Keppres No. 15/2002, berniat melanjutkan proyek tersebut. Selanjutnya, didukung juga dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 216K/31/MEM/2002 tentang Penetapan Status Proyek PTLP Karaha dari ditangguhkan menjadi diteruskan.

Akhirnya, KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke Arbitrase Jenewa (Swiss) sesuai dengan tempat yang dipilih oleh para pihak dalam JOC. Pengadilan arbitrase Jenewa pada tanggal 18 Desember 2000 membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC. Kurang lebih US$ 270.000.000.dengan rincian, Pertamina harus membayar denda yang dihitung dari nilai ganti rugi US$ 111,1 juta dan hilangnya kesempatan mendapatkan keuntungan (opportunity lost) US$ 150 Juta, ditambah dengan bunga 4% pertahun sejak 2001.

Pertamina dan PLN selanjutnya melanggar kewajiban kontrak mereka terhadap KBC. Walaupun keputusan badan arbitrase internasional sudah ditetapkan, tetapi pertamina telah menolak untuk membayar kewajiban legalnya. Dalam merespon ini KBC melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk melaksanakan Putusan Arbitrase Jenewa di Pengadilan beberapa negara dimana aset dan barang Pertamina berada, kecuali di Indonesia, yaitu:

1. Pada tanggal 21 Februari 2001, KBC meminta US District Court for The

Southern Distric of Texas untuk melaksanakan putusan arbitrase Jenewa;

2. Pengadilan Hong Kong, memutuskan mengabulkan permohonan sita jaminan

KBC terhadap aset dan barang milik Pertamina yang berada di Singapura.

3. Pengadilan Singapura, KBC meminta semua aset anak perusahaan pertamina

yang berada di Singapura, termasuk Petral.

4. Pada tanggal 30 Januari 2004, KBC meminta Hakim New York untuk menahan

aset Pertamina dan Pemerintah RI hingga1,044 miliar dolar USA. Permintaan tersebut ditolak, dan Hakim menetapkan agar Bank Of America (BOA) dan Bank Of New York melepaskan kembali dana sebesar US$ 350 Juta kepada pemerintah RI. Yang tetap ditahan adalah dana 15 rekening adjudicated account di BOA sebesar US$ 296 Juta untuk jaminan.

Sehingga mendorong Pertamina untuk melakukan penolakan terhadap keputusan badan arbitrase tersebut, yang diajukan pada Arbitrase Jenewa (Swiss), karena Pengadilan Swiss adalah pengadilan yang berwenang untuk membatalkan putusan arbitrase Jenewa berdasarkan dua alasan. Pertama, Pertamina dan KBC telah menentukan seat arbitrase Jenewa dibuat di Swiss. Kedua, putusan Arbitrase Jenewa dibuat di Swiss. Namun sayang, proses ini tidak diteruskan karena keengganan Pertamina membayar uang deposit.

Selain meminta pengadilan Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase, upaya hukum lainnya yang dilakukan oleh Pertamina adalah meminta penolakan pelaksanaan putusan arbitrase Jenewa di pengadilan-pengadilan yang oleh KBC diminta untuk melakukan eksekusi serta melakukan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa kepada Pengadilan Indonesia (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) pada tanggal 14 maret 2002.

Namun tuntutan pertamina yang dilakukan pada tanggal 14 maret 2002 kepada pengadilan negeri pusat Jakarta yang bertujuan untuk menghapus ganjaran arbitrase dan mencegah kegiatan peradilan lain untuk melaksanakan keputusan tersebut bergerak maju, Sangat menyalahi semangat serta surat persetujuan kontrak pertamina, seperti halnya aturan arbitrasi komosi PBB untuk perdagangan internasional ( aturan UNCITRAL), serta konvensi perserikatan bangsa-bangsa untuk pengakuan dan pelaksanaan ganjaran Arbitrase luar negeri ( konvensi new York ), yang telah ditandatangani oleh Indonesia.

2.2.4. Kondisi dan perkembangan kasus antara pertamina dan KBC

Kondisi perseteruan antara pertamina vs KBC semakin memanas, apalagi pada tanggal 27 agustus 2007 majelis hakim yang diketuai Henry Swantoro mengabulkan gugatan tertulis pertamina dan memerintahkan KBC untuk tidak melakukan apa pun, termaksud eksekusi putusan arbitrase dan menetapkan denda sebesar US$ 500 ribu perhari apabila KBC tidak mengindahkan larangan tersebut.

Tentu saja itu ditanyakan oleh rambun tjaja (pengacara KBC di Indonesia). “Berdasarkan putusan arbitrase, bentuk pembatasan harusnya permohonan bukan gugatan, dan yang berhak mengajukan pembatalan itu adalah arbitrase” ujarnya

Keluarnya putusan pengadilan negeri Jakarta pusat itu memang membuat perakara ini tambah seru, sebab menurut pengadilan distrik texas, pertamina dianggap melecehkan pengadilan (contemp of court). Dengan kata lain, pertamina dinilai menentang otoriatas pengadilan Amerika Serikat. Pasalnya, sebelum pengadilan negeri Jakarta pusat mengabulkan gugatan privisi pertamina. Pengadilan distrik Texas telah mengeluarkan suatu perintah penghentian sementara pertamina berpartisispasi dalam pengadilan Jakarta.

Pertimbangan majelis hakim bahwa keputusan arbitrase internasional dianggap telah melampaui kewenangan arbitrase sendiri. Majelis hakim juga menyatakan pengadilan negeri Jakarta mempunyai wewenang megadili kasus gugatan pertamina untuk membatalkan hasil arbitrase internasional. Karena pada butir ketiga keputusan tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa keputusan arbitrase sangat memungkinkan dengan menggunakan yurisdiksi Indonesia sehingga kasus KBC harus menggunakan hukum berlaku diindonesia (berdasarkan konvensi 1958 yaitu new York convention).

Sehari setelah keputusan pengadilan negeri Jakarta pusat, dalam jumpa pers pihak KBC akan mengajukan kasasi ke mahkamah agung berkaitan dengan kekalahan mereka dari pertamina di pengadilan Jakarta pusat, karena menganggap keputusan tersebut tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum dan pihak KBC juga menilai keputusan tersebut meremehkan dasar hukum perdagangan internasional. Kata bishop selaku pemegang saham mayoritas karaha menyatakan “ putusan tersebut merupakan sesuatu yang berbahaya dalam perjanjian tentang konflik komersial” sehingga seolah tak ada lagi perlindungan bagi penanam modal diindonesia”.

BAB III Kesimpulan dan Saran

3.1 Kesimpulan:

Munculnya lembaga ketertiban umum merupakan cara untuk mencegah adanya pemakaian hukum asing yang terlalu menusuk sendi-sendi azasi hukum nasional sang hakim, kita sudah mengetahui bahwa konsepsi ketertiban umum adalah berlainan di masing-masing negara, ketertiban umum terikat pada factor tempat dan waktu, jika situasi dan kondisi berlainan, paham-paham ketertiban umumpun berlainan . factor demikian dapat berujung pada suatu kesimpulan yang aga menyesatkan seakan-akan terkesan bahwa penggunaan lembaga ketertiban umum ini cederung bernuansa politis.

Segi politis itu terlihat jelas dari kedua kasus diatas dimana pengadilan di Indonesia terlihat bebas menyebut sesuatu sebagai ketertiban umum, padahal sampai sekarang belum ada batasan yang jelas dengan apa yang disebut sebagai lembaga ketertiban umum.

dalam ketentuan Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 khususnya huruf c menyatakan bahwa Putusan Arbitrase Internasional hannya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Dan didalam UU inipun tidak bahas lebih lanjut tentang apa yang disebut dengan ketertiban umum.

Namum timbul banyak pertanyaan siapakah yang berwenang menetapkan dan menggunakan ketertiban umum ini? Dalam praktek hal demikian diberikan hak kepada hakim dalam arti hakim berhak untuk menentukan apakah sesuatu hal tersebut bertentangan atau tidak dengan ketertiban umum.

3.2 Saran

Terkait dengan apa yang telah disajikan dalam makalah ini penulis menyarankan bahwa, hendaknya agar lembaga ketertiban umum ini lekas-lekas di beri suatu bentuk yang limitatif yaitu dengan cara diberi bentuk hukum, pengunaan lembaga ketertiban umum ini apabila hannya diserahkan kepada satu pihak yaitu hakim akan menimbulkan kesan yang cukup negative, hakim akan cenderung bersifat subjektif dan memihak kepentingan negaranya. Yang mana akan melahirkan suatu “chauvinisme Hukum” di mana hakim selalu menggunakan hukum nasionalnya dalam memeriksa perkara-perkara HPI.


Daftar Pustaka

S. Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung: Binacipta.

Erman Rajagukguk, “Arbitrase dalam Putusan Pengadilan.

http://shendypj.blogspot.com/2010/04/arbitrase-sebagai-alternatif.html

http://situshukum.com/kolom/beberapa-catatan-tentang-kontrak-bisnis-internasional-penyelesaian-sengketa.shkm

http://www.pemantauperadilan.com/opini/25.KETERTIBAN%20UMUM%20SEBAGAI%20DASAR%20PENOLAKAN%20DILAKSANAKANNYA%20P.pdf



[1] Erman Rajagukguk, “Arbitrase dalam Putusan Pengadilan” hal: 106

[2] S. Gautama, “Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia” Binacipta; Bandung. hal. 134

[3] Ibid hal.133