Dasawarsa terakhir ini, percaturan politik Indonesia diramaikan perempuan politikus. Konsekuensinya, persaingan partai dan individu yang terjadi di pentas arena demokrasi makin keras, semarak, ramai, dan sensasional dengan harapan stigma politik hanya milik kaum laki-laki lambat laun akan sirna dan terkikis.
kata affirmative action sebenarnya mempunyai arti kebijakan yang dikenakan kepada kelompok tertentu berupa pemberian keistimewaan atau perlakuan khusus dalam kasus tertentu. misalnya, mengetahui sebagian besar suku Anak Dalam di Jambi masih terbelakang, Pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang memberikan keistimewaan kepada suku Anak Dalam untuk masuk sekolah. Kebijakan semacam ini tak bisa diartikan sebagai tindakan diskriminatif, melainkan affirmative action.
Program affirmative action merupakan sebuah cara yang banyak direkomendasikan untuk mencapai kesetaraan kaum perempuan. Ketidaksetaraan perempuan terjadi di semua bidang akibat struktrur patriarki di level publik dan privat. Dari sudut sejarah, istilah affirmative action diaplikasikan di level publik di mana negara dan institusi publik mengeluarkan kebijakan yang memberikan peluang atau perlakuan khusus kepada perempuan. Termasuk, kebijakan kuota di lembaga-lembaga negara dan publik: parlemen, pemerintahan, institusi pendidikan dan lapangan pekerjaan. Program ini dilakukan di banyak negara seiring dengan gerakan perempuan yang bekerja dirana domestik dan internasional.
Implikasi dari munculnya affirmative action adalah dikeluarkannya kebijakan kouta 30% untuk wanita dalam berkecimpung di dunia politik. hal ini tertuang dalam Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, dan Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik. tetapi sampai sekarang hal tersebut belum dapat di realisasi, nyatanya terdapat empat partai politik yang belum memenuhi kouta 30% tersebut, empat partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Patriot, Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDA), hal itu disebabkan karena karena dalam proses verifikasi banyak caleg perempuan yang dicoret, prosentase caleg perempuan mereka turun sehingga tidak memenuhi kuota 30 persen.
Oleh karena itu, dalam politik, perempuan tetap memiliki ganjalan, kendala, hambatan dan rintangan sosial budaya (cultural social barriers) yang serius, pengaruh sikap primordial, tradisi, struktur lingkungan sosial, dan tatanan agama yang membelenggu dan tak mudah diatasi. Bagaimanapun juga, perempuan harus membuktikan dirinya berkualitas dan layak dipilih sebagai pemimpin, tidak sekadar diletakkan menjadi nomor dua dalam pemerintahan. Mereka bukan lagi menjadi pelengkap, pembungkus, ataupun pemanis dalam pilkada karena berparas cantik dan memiliki popularitas.
0 arguments: